Liputan terakota.id
Wakil Kepala Badan Pembinan Ideologi Pancasila (BPIP) Selanjutnya Profesor Hariyono menilai banyak politikus yang terputus dari sejarah politik Indonesia. Sehingga tidak melihat politik sebagai aktivitas kemanusiaan.
“Politik itu aktivitas kemanusiaan yang ada sejak manusia itu ada. Selama ini politik sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang akal-akalan,” katanya. Sarasehan dan peluncuran buku Keadaban Politik : Membincang Kekuasaan Merawat Kewarasan pada Selasa, 30 Maret 2021.
Guru besar sejarah politik ini menyampaikan kenyataan ini menjadi antitesis mengapa sejarawan yang asyik dengan sejarah ekonomi. Sehingga seolah-olah politik tidak ada yang peduli. Sehingga dampaknya pendapat umum menggambarkan politikus menjadi orang yang pintar akal-akalan dan menghalalkan segala cara. “Jika dipolitiki itu asumsinya dikadali,” katanya.
Politik itu, katanya, tidak terlepas dari istilah polait. Polait artinya sopan juga polis atau halus sehingga kesantunan, kesopanan merupakan hakikat kekuasaan. Sehingga jika membicarakan keadaban, kata Hariyono, sebenarnya berlebihan dalam kontek politik. Lantaran politik membawa misi membangun peradaban yakni memanusiakan, manusia yaitu perikemanusiaan.
Pada masa kolonial, katanya, warga Eropa menari dan menyanyi bersama di Gedung Society Concordia atau Gedung Rakyat yang sekarang menjadi gedung Sarinah. Namun, usai berpesta mereka mengakhiri dengan diskusi.”Silakan cek dokumennya orang Eropa setelah menyanyi berdiskusi. Kebiasaan itu sampai sekarang,” katanya.
Seperti fenomena kedai kopi yang menjamur di Malang mengingatkan biografi Jurgen Habermas yang kerap mendiskusikan politik, ekonomi, budaya tanpa ada batasan di kedai kopi. ”Pertanyaannya mahasiswa sering ngopi apakah kemudian berdiskusi? Nah inilah yang tantangan kita,” katanya.
Hariyono menjelaskan buku karya Luthfi J. Kurniawan menjelaskan semua pengetahuan tidak boleh dilepaskan dari kehidupan. Lantaran tidak ada peradaban yang bisa meningkat tanpa pengetahuan. “Pancasila digali pendiri bangsa khususnya Bung Karno, karena pengetahuan,” ujarnya.
Namun fakta sekarang, ujar Hariyono, pejabat politik di level pemerintahan dan dunia akademik banyak profesor yang melakukan plagiasi.
Politikus Amat Mulia
Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Profesor Abdul Haris menyampaikan seorang pemimpin seharusnya menggunakan kewenangannya harus berorientasi kepada kemaslahatan umat. Sehingga ujung kekuasaan, orang yang berkarir di politik itu tidak mudah ditipu tapi harus berusaha tidak menipu.
“Fungsi pemimpin itu amat sangat mulia. Dibandingkan Rektor, politisi itu amat mulia. Rektor hanya mengajar dan mengatur orang untuk belajar. Tetapi kalau politisi itu membuat kebijakan termasuk kesejahteraan rakyat,” katanya.
Sementara Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang Surya Tjandra menuturkan buku ini hadir bukan sekadar sebuah “narsisme sejarah” melainkan refleksi diri atas kejadian di negeri ini. Politik mestinya bisa menjadi sesuatu yang mulia. Asal mendapatkan orang yang tepat. “Mudah-mudahan dari buku ini kita bisa belajar untuk masa depan Indonesia yang lebih baik,” ujarnya.
Ketua Ombudsman Mokhamad Najih menilai buku ini menggelitik dan membaca situasi kondisi ketatanegaraan. Dengan membaca buku ini bisa memahami perkembangan dan situasi kehidupan demokrasi di negara ini. “Buku ini sangat berharga terutama bagi pemerhati politik,” katanya.
Najih menyitir pujangga Ronggo Warsito yang meramalkan kehadiran zaman kalabendu yakni suatu zaman yang diprediksi sebagai zaman edan. Disebut dengan zaman edan jika orang saling berebut, bertikai untuk kepentingan sesaat. Serta meninggalkan etika, moral sebagai budi luhur yang diyakini nenek moyang.
Ketua DPRD Kota Malang I Made Dian Rian Kartika mengaku tertarik dengan buku seperti karya Luthfi J Kurniawan ini. Sebagai politikus, ia mengaku memiliki tanggungjawab moral untuk memberikan pendidikan politik. “Karena itu nanti akan menghasilkan perubahan-perubahan,” katanya.
Penulis buku Lutfi J kurniawan mengatakan ia tengah merefleksikan kondisi politik di Indonesia. “Ini merupakan coretan-coretan, melihat situasi kehidupan kebangsaan ini keadaban publik. Sementara saat ini kita melihat politikus transaksional dan menjadi gejala umum,” katanya.
Padahal demokrasi kita, katanya, seharusnya menghidupkan partai politik. Partai politik tidak boleh dinihilkan namun harus dbenahi dengan mendorong partai politik agar tumbuh sehat. “Kehidupan politik kita terlalu gila kuasa. Semua direlasikan dengan kekuasaan,” ujarnya.