Desentralisasi (Korupsi) dan Otonomi Daerah

Peresensi: Janwan Tarigan (Badan Pekerja MCW)

Judul Buku      : Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Penulis             : Abdul Kholilq, M.Si. dan Abdul Haris Suryo, S.I.P., M.Si.

Penerbit           : Intrans Publishing

Ketebalan        : xvi + 270 hlm

ISBN               : 978-602-6293-68-8

Harga P. Jawa : Rp84.000

 

Tiada satu Negara pun yang meletakkan kekuasaan sepenuhnya pada satu titik kekuasaan. Bahkan Negara dengan sistem kerajaan sekalipun membutuhkan perpanjangan tangan di wilayah wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan untuk melaksanakan tugas negara. Asas desentralisasi adalah sebuah keniscayaan dalam sistem organisasi Negara. Terlebih di Negara dengan sistem pemerintahan demokrasi selalu mengupayakan kekuaasaan terdistribusi ke daerah seluas-luasnya. Tujuan utamanya agar Negara lebih dekat dengan rakyat melalui pembangunan dan pelayanan publik yang langsung dikelola oleh pemerintah daerah.

Sejarah mencatat sebelum Indonesia merdeka asaas desentralisasi diterapkan versi colonial Belanda. Kala itu, Indonesia dibagi menjadi 8 wilayah administrative provinsi yang dipimpin seorang gubernur, sementara di bawah provinsi ada kerasidenan yang dipimpin seorang residen, demikian seterusnya hingga distrik, dan desa. Pada awal kemerdekaan Indonesia juga oleh Founding Fathers yang tergabung dalam BPUPKI sepakat menerapkan asas desentralisasi dengan membahas pemerintahan daerah di dalam konstitusi. Sejak saat itu asas desentralisasi digunakan dengan kadar yang berbeda pada setiap era hingga kini.

Pada masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru tampak diterapkan desentralisasi dan otonomi terbatas karena kekuasaan dan monopoli pemerintah pusat sangat kuat atau cenderung sentralistik. Kondisi tersebut menimbulkan kesenjangan pembangunan antar daerah sebab kebijakan bertumpu di Pulau Jawa yang merupakan wilayah pusat kekuasaan. Kemudian pada Era Reformasi dimulai pada tahun 1998 desentralisasi semakin massif diterapkan dengan program otonomi daerah seluas-luasnya yang merupakan salah satu tuntutan reformasi. Banyak daerah provinsi dan kabupaten/kota bermekaran, Selain itu kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya semakin besar. Otonomi daerah seluas-luasnya disebut dengan era arus balik kekuasaan pusat ke daerah.

Pada titik desentralisasi dan otonomi daerah dijadikan solusi mencapai tujuan Negara untuk mewujudkan kesejahteraan di daerah masing-masing dibutuhkan suatu pendekatan sesuai potensi dan kebutuhan di daerah tersebut. Kebijakan satu daerah dengan daerah lain tidak dapat disam]a-ratakan. Oleh karena itu, pemerintah daerah juga memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan daerah sendiri dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan di atasnya. Dengan demikian pemerintah daerah memiliki otoritas menggali potensi daerah dan memajukan daerahnya melalui pembangunan dan pelayanan publik.

Pelayanan publik merupakan bukti kehadiran Negara di tengah rakyatnya. Harapan besar dari adanya desentralisasi dan otonomi daerah agar pelayanan publik yang responsif, akomodatif, dan produktif benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat manfaatnya. Mengingat di Negara demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat dan kesejahteraan rakyat adalah tujuan utama Negara. Pemerintah dibentuk bukan untuk melayani dirinya sendiri melainkan melayani rakyat sebagai pemberi mandat.

Seiring pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah secara luas turut pula disertai persoalan yang menghambat tercapainya kesejahteraan di daerah. Salah satunya adalah persoalan korupsi yang menggerogoti pemerintahan daerah. Pasca kran dentralisasi dan otonomi daerah dibuka diikuti praktik korupsi besar-besaran di daerah. Sebelum itu, korupsi banyak terjadi di ranah pemerintah pusat, namun semenjak kewenangan pemerintah daerah bertambah justru korupsi terdesentralisasi ke daerah. Kondisi tersebut membuat korupsi hampir ada di semua lini pemerintahan Negara baik pusat maupun daerah. Dalam situasi ini teori Klitgaard bekerja, bahwa korupsi terjadi ketika adanya kebijakan yang disertai kekuasaan besar pada satu pihak tanpa adanya pertanggungjawaban. Maka patut dipertanyakan dan dikaji lebih dalam bagaimana pengawasan tata kelola pemerintahan daerah pasca kewenangan besar disematkan.

Kajian-kajian desentralisasi dan otonomi daerah diperlukan untuk memahami tata kelola dan tujuan penerapannya secara lengkap dan komprehensif. Buku yang ditulis oleh Drs. Abdul Kholilq Azhari, M.Si. dan Abdul Haris Suryo Negoro, S.I.P., M.Si. berjudulDesentralisasi dan Otonomi Daerah: Di Negara Kesatuan Republik Indonesia” tepat dijadikan rujukan. Kajian ini mengurai dengan lengkap sejarah, konsep, serta praktik desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indoenesia.

Karya buku ini disarankan untuk pelajar Strata 1 pada bidang studi Ilmu Pemerintahan, Ilmu Politik, Ilmu Administrasi Publik. Kiranya perlu dibaca oleh pejabat dan Aparatur Sipil Negara (ASN) di pemerintahan daerah untuk memahami makna desentralisasi dan otonomi daerah dan dapat diterapkan sebai-sebaiknya. Selain itu tepat dijadikan referensi oleh pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai ‘amunisi’ mendorong pemerintahan yang bersih dan pro rakyat, serta bahan untuk pendidikan politik warga dan meningkatkan partisipasi masyarakat. #

 



Janwan S.R. Tarigan
Pegiat Malang Corruption Watch (MCW)

Leave a Reply

Your email address will not be published.