Ideologi Gender dalam Novel Indonesia Era Reformasi: Karya Sastra dalam Selimut Ideologi

Judul : Ideologi Gender dalam Novel Indonesia Era Reformasi
Penulis : Yulianeta
Penerbit : Intrans Publishing
Cetakan : Januari 2021 (cetakan pertama)
Tebal Buku : 300 halaman
ISBN : 978-623-95424-2-9

Karya sastra merupakan representasi dari kondisi suatu zaman ketika karya tersebut lahir. Seperti yang ada di Indonesia, karya sastra berbentuk novel yang lahir pada tiap-tiap dekade menjadi gambaran kondisi saat itu. Setiap karya memiliki fokus pembahasannya masing-masing, baik itu membahas terkait kondisi sosial, budaya, maupun politik. Bisa jadi suatu karya dicetuskan dengan tujuan propoganda dan memengaruhi pandangan si pembaca. 

Karya sastra novel yang dipaparkan di buku ini memiliki ideologinya masing-masing, dalam hal ini ideologi gender. Ideologi gender memiliki beragam definisi, salah satunya adalah ideologi gender berkenaan dengan segala nilai, aturan, kepercayaan, dan stereotip. Aspek-aspek tersebut menentukan dan mengatur identitas perempuan dan laki-laki; kedudukan atau posisi perempuan dan laki-laki; dan tingkah laku perempuan dan laki-laki. Terdapat beberapa jenis ideoogi gender yaitu ideologi patriarki, familialisme, ibuisme, dan seksisme. Setiap jenis tersebut diidentifikasi secara apik oleh penulis buku ini, lengkap dengan penggalan-penggalan kalimat dari novel yang ia kutip.

Setiap pembedahan ideologi gender dalam karya sastra dijelaskan secara detail oleh Yulianeta. Dengan menyertakan dialog yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam setiap novel, keberpihakan ideologi gender dari karya yang dipaparkan menjadi terlihat jelas. Setiap pemaparan karya yang diulas selalu berasal dari penggalan pengalaman perempuan. Hal tersebut dilakukan penulis dalam upaya mengkritik stigmatisasi gender di Indonesia.  

Tak hanya sekadar mengidentifikasi ideologi gender, penulis juga memberikan gambaran kondisi zaman yang terjadi. Novel yang ia paparkan memperlihatkan ketimpangan gender serta permasalahan-permasalahan yang mayoritas dialami oleh perempuan. Artinya, masih terdapat budaya diskriminatif terhadap sex yang masih mengakar di Indonesia, baik  dalam aspek kemasyarakatan, pendidikan, maupun ekonomi. Selain itu, penulis juga selalu menjelaskan fenomena ketidakadilan gender dari penggalan setiap novel mulai dari fenomena marginalisasi, dominasi, subordinasi, dan represi.

Tidak berhenti di situ, penulis bahkan memperluas cakupan pengetahuan pembaca dengan menguraikan fenomena perlawanan dan pembebasan yang dialami tokoh-tokoh di setiap novel. Penggambaran ini disuguhkan dengan penjelasan terkait dinamika perjuangan yang sebelumnya dihadapi para tokoh sehingga sampai pada kemerdekaan yang diimpikan.

Penulis mengatakan bahwa ketidakadilan gender terjadi karena lemahnya bargaining perempuan di hadapan laki-laki. Selain itu, menurutnya, inti kemampuan perempuan bukan pada penciptaan perempuan yang mengungguli laki-laki, melainkan pada kerangka kapasitas perempuan. Argumen tersebut tidak bisa dititikberatkan hanya pada satu persoalan saja, tetapi juga perlu adanya rekonstruksi pikiran laki-laki sebagai supporting system dalam mendukung dan menciptakan ruang aman untuk perempuan. Upaya ini penting untuk dilaksanakan sebagai penghargaan atas hakikat manusia yang memiliki kemerdekaan. 

Saling mengisi satu sama lain antara perempuan dan laki-laki pun dapat meningkatkan potensi bargaining yang dimiliki oleh perempuan. Dengan demikian, bargaining perempuan tak terkesan naif dan hanya mampu dicapai oleh perempuan yang memiliki privilese saja, tetapi perlu disertai dengan adanya variabel selain kemandirian perempuan, yakni kerja sama antarentitas untuk mewujudkan kesetaraan gender itu sendiri.

Penulis juga mengatakan bahwa posisi perempuan sebagai feminis dihinggapi perasaan ambivalen dan bertentangan dengan gagasan feminis. Narasi ini membuat Feminisme seolah diposisikan sebagai garis finish. Padahal, tak dapat dipungkiri, setiap manusia mengalami character development. Pun Feminisme sendiri dapat menjadi proses pembelajaran seumur hidup bagi seseorang. Dengan demikian, beragam pengalaman yang dihadapi manusia dapat berpengaruh pada cara pandang dan aktualisasi nilai feminisme yang dimiliki. 

Terakhir, penulis memberikan solusi-solusi relevan yang menyinggung aspek kebijakan negara sampai pada capaian pendidikan gender, baik secara teoritis maupun praksis, dengan mengedepankan sikap ideologi gender yang adil. Buku ini sangat membantu pembaca membongkar secara detail ideologi-ideologi gender dalam novel-novel Indonesia di era reformasi. Berkat upaya penulis, pembaca setidaknya mengetahui sudah sampai mana Indonesia memandang permasalahan gender dan menjadikan pengetahuan itu sebagai modal untuk berbenah.


CINDY PARASTASIA
Mahasiswi Hubungan Internasional UMM

Tinggalkan Balasan