Peresensi: Ajmal Fajar Sidik
Judul Buku : Kuliner Hindia Belanda 1901 – 1942
Penulis : Pipit Anggraeni
Penerbit : Intrans Publishing
Ukuran Buku : 14 Cm x 21 Cm
Ketebalan : xii + 114 hlm
ISBN : 978-602-53281-6-9
Harga P. Jawa : Rp 55.000
Pertama kali saya mendarat di Bandara Internasional Juanda Surabaya, saya merasakan terik matahari yang begitu panas. Barangkali bagi siapapun yang sering menyerap cuaca dingin, barang dua menit turun di Surabaya, akan menganggap kulitnya terbakar seolah es yang meleleh. Tapi percayakah Anda, bila panas Surabaya tidak hanya menghasilkan cuaca gerah tapi juga menemukan makanan khas Surabaya super pedas yang bernama Rawon?.
Jika anda pernah memakan Rawon khas Surabaya, maka kiranya kita akan menyepakati hal itu. Sebentar, adakah hubungan antara suasana geografis yang panas dengan makanannya yang pedas? Bisakah kita memahami makanan khas suatu daerah dengan memahami kondisi geografis dan karakteristik masyarakat yang menempatinya? Bahkan, mungkin juga melalui makanan khas daerah kita dapat melacak masa lampau suatu kota atau masyarakat?
Pipit Anggraini, Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang (UM) suatu ketika mengambil mata kuliah sejarah Eropa, ia sempat melakukan diskusi terkait pertanyaan di atas bersama Abdul Latif Bustomi, dosen pengampu mata kuliah tersebut. Saat itu, setiap kali jam mata kuliah berakhir, Pipit selalu enggan melepas pertanyaan itu dari benaknya. Ya, Pipit tertarik pada rekam jejak sejarah bangsa yang ia yakini dapat dilacak melalui budaya kulinernya.
Belakangan, pertanyaan-pertanyaan inilah yang berhasil membawanya lulus studi sarjana di kampus. Pertanyaan-pertanyaan yang ia simpan sejak jam mata kuliah itu berakhir dijawab melalui hasil penelitian skripsi, kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Kuliner Hindia Belanda 1901-1942”.
Hasil studi yang telah terbit itu kini telah berhasil membuka ruang perspektif sejarah baru bagi saya, barangkali juga bagi khalayak luas.
Buku itu, kurang lebih telah saya baca rampung pada bulan Juli ini. Buku itu juga berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan saya di atas. Dan saya sepakat, untuk sebuah tulisan skripsi, tulisannya cukup berhasil membuat pembaca berusaha berimajinasi untuk hidup di masa lampau, di masa Kolonial Hindia-Belanda.
Pipit memulai buku ini dengan mencoba menggambarkan terlebih dahulu jejak-jejak budaya Kuliner Hindia-Belanda, yang nantinya akan ia kaitkan dengan budaya Kuliner Indonesia kini. Ia juga memulai ini dengan menarik garis persinggungan budaya luar yang diterima suatu daerah, baik itu budaya Portugal, Cina, Inggris dan terutama Belanda. Lebih lanjut, ia memberi istilah yang lebih nyentrik, yaitu bakat alamiah masyarakat Nusantara yang ia tulis dengan istilah Local Genius. Sebuah konsep bertahan hidup dari tekanan, melalui proses mengamati, meniru dan memodifikasinya menjadi budaya masyarakat lokal.
Selain melalui perspektif akulturasi budaya, Pipit juga berhasil menghubungkan akibat politik etis Ratu Wilhemmina pada tahun 1901 terhadap banyaknya menu makan, cara pengemasan, dan perangkat alat memasak yang dapat kita temui hingga kini. Satu di antaranya adalah cara menyajikan hidangan di atas meja makan bersama, yang kerap kita temui di keluarga kita (Riijstafel), yang menurut Pipit dalam buku ini merupakan hasil adopsi dari cara makan bangsawan Belanda.
Pipit juga berhasil memberikan sumbangsih penelitiannya terhadap perempuan Indonesia. Ia menggambarkan, bahwa pada era Hindia-Belanda, sebagian besar dari bangsawan Eropa yang menikahi Wanita Pribumi – istilah ini dikenal sebagai Nyai – akan mendidik Wanita Pribumi mereka sebagai Wanita Tulen. Spesifiknya dalam bidang kuliner dan dunia masak-memasak di dapur. Ia juga berhasil memberikan gambaran bagaimana para Nyai itu dididik untuk menjadi istri yang baik dalam urusan pelayanan rumah tangga. Bahkam ia berhasil meneliti beberapa lembaga Pendidikan khusus wanita yang ia dapat dari majalah-majalah masyhur saat itu, seperti majalah Pedoeman Istri.
Dari sekian banyak kelebihan buku ini, tentu ia memilki kekurangan pula seperti kurang memberi keterangan spesifik menu-menu baru yang hadir akibat singgungan kedua budaya di atas. Padahal ia banyak menghimpun beberapa naskah percetakan pada era itu. Buku ini juga hanya memilki naskah-naskah historigrafi. Saya membayangkan Pipit bisa melacak narasumber yang lebih kuat dan menambahkannya dalam petilan wawancara pelaku sejarah. Barangkali buku ini akan memberikan gambaran lebih detail. Tapi di luar semua itu, buku ini tetap sangat layak untuk dibaca.
Ajmal Fajar Sidik Traveller | Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang