Jejak Eropa dalam Kuliner Indonesia
Oleh: Badiatul Muchlisin Asti*
Artikel pertama kali tayang di Suara Merdeka dalam rubrik Rocak-Racik, Minggu, 01 Maret 2020.
Saat ini, kuliner menjadi salah satu daya pikat wisata. Berbagai destinasi wisata kuliner banyak dicari wisatawan. Buku-buku tentang tempat wisata kuliner pun bermunculan. Contohnya, mendiang Bondan Winarno menerbitkan seri buku “100 Mak Nyus”. Selain wisata kuliner yang populer, upaya melihat masa lalu kuliner juga menarik. Hal ini terlihat dari banyaknya buku tentang sejarah kuliner Indonesia. Misalnya, pakar sejarah kuliner Fadly Rahman menulis buku “Rijsttafel” dan “Jejak Rasa Nusantara”. Wahjudi Pantja Sunjata, Sumarno, dan Titi Mumfangati menulis buku “Kuliner Jawa dalam Serat Centhini”.
Buku ini mengungkap kuliner dalam Serat Centhini yang sebagian besar masih ada kini. Terbaru, ada buku “Khazanah Kuliner Keraton Kesultanan Cirebon” karya Riadi Darwis. Buku ini membahas mendalam kuliner keraton Cirebon dari manuskrip kuno. Hadirnya buku “Kuliner Hindia Belanda 1901-1942, Menu-menu Populer dari Budaya Eropa” juga bertujuan menggali sejarah kuliner Indonesia. Dalam buku ini, Pipit Anggraeni menyajikan potret kuliner Indonesia tahun 1901-1942. Fokusnya adalah pengaruh dapur Eropa (terutama Belanda) pada menu Indonesia. Kita sadar bahwa kedatangan bangsa asing membawa pengaruh pada budaya Indonesia, termasuk kuliner. Beberapa kuliner Indonesia saat ini adalah hasil akulturasi dengan budaya asing.
Rijsttafel: Akulturasi Budaya Makan
Salah satu contoh nyata adalah budaya makan rijsttafel. Rijsttafel adalah hasil akulturasi budaya makan pada masa kolonial. Istilah ini pertama kali dipakai orang Belanda. Tujuannya untuk menyebut kebiasaan makan nasi turun temurun yang menjadi budaya mereka. Rijst artinya nasi, tafel berarti meja atau hidangan. Istilah rijsttafel mulai dipakai keluarga Belanda sekitar tahun 1870-an. Ide ini muncul saat orang Belanda sering melihat bumiputera makan bersama nasi dan lauk dengan tangan. Aroma masakan Indonesia membuat orang Belanda ingin meniru. Mereka makan dengan menu Jawa yang kaya bumbu Belanda.
Eksklusivitas Rijsttafel dan Pengaruh Belanda
Dalam perkembangannya, rijsttafel menjadi budaya yang sangat eksklusif. Orang Belanda ingin berbeda dari kebiasaan makan bumiputera. Meskipun awalnya meniru, status sosial dalam rijsttafel sangat ditekankan. Unsur tambahan seperti sendok, garpu, pisau, piring, meja, dan kursi sengaja ditambahkan. Menu Belanda juga dihidangkan dalam rijsttafel. Di antaranya ada sop sayur, lidah sapi, kroket kentang, asparagus rebus, lobster dengan mayones, salad, puding, buah, roti, olahan jamur, acar, daging sapi dan unggas, ayam, kentang, biskuit keju, anggur merah, kopi, teh, dan es ceri. Menu Belanda dalam rijsttafel, yang sudah diubah, masih banyak yang eksis kini. Menu ini menjadi kekayaan kuliner tradisional Indonesia sebagai hasil silang budaya Indonesia-Belanda.
Rijsttafel di Masa Kini: Contoh Restoran Indrapura
Indonesian Restaurant Indrapura di Amsterdam adalah salah satu contohnya. Restoran ini menawarkan masakan tradisional Indonesia. Pemiliknya, Peter Alexander Ten Cate dan Dewi Paramawati, menyajikan rijsttafel ala Hindia Belanda dengan menu autentik. Salah satu hidangan di restoran itu adalah nasi rames. Nasi rames terdiri dari nasi putih dan berbagai lauk seperti daging dan sayuran. Dalam menu tertulis nasi rames disajikan dengan kentang dan sambal goreng tempe, sambal goreng telur dan ayam, serundeng, sayur lodeh, acar mentimun, semur, opor daging, sate babi, dan kerupuk melinjo. Hidangan satu meja ini mirip dengan rijsttafel di Hindia Belanda tahun 1900-an. Kini, masyarakat lebih mengenalnya sebagai masakan Indonesia. Buku Pipit Anggraeni mengurai fakta penting tentang sejarah kuliner Indonesia tahun 1901-1942. Buku ini adalah hasil konversi skripsi tentang pengaruh budaya Eropa terhadap kuliner Indonesia. Pembaca akan mendapat gambaran kuliner Indonesia pada masa itu dari menu populer yang berkembang.
*Peminat kajian kuliner Nusantara, tinggal di Grobogan, ketua Yayasan Mutiara Ilma Nafia Grobogan, ketua Forum Silaturahmi Penulis Grobogan (FSPG).