Pertama kali saya mendarat di Bandara Internasional Juanda Surabaya, saya merasakan terik matahari yang begitu panas. Bagi yang sering merasakan cuaca dingin, hanya dalam dua menit turun di Surabaya, kulitnya mungkin akan terasa terbakar. Panas Surabaya tidak hanya menghasilkan cuaca gerah, tetapi juga makanan super pedas yang bernama Rawon.
Jika Anda pernah memakan Rawon khas Surabaya, mungkin kita bisa sepakat soal kepedasannya. Pertanyaan yang muncul adalah, adakah hubungan antara suasana geografis yang panas dengan makanan pedas? Bisakah kita memahami makanan khas suatu daerah dengan memahami kondisi geografis dan karakteristik masyarakat yang menempatinya? Bahkan, mungkin melalui makanan khas daerah, kita dapat melacak masa lalu suatu kota atau masyarakat.
Latar Belakang Penulis
Pipit Anggraeni, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang (UM), suatu ketika mengambil mata kuliah sejarah Eropa. Ia berdiskusi mengenai pertanyaan di atas bersama Abdul Latif Bustomi, dosen pengampu mata kuliah tersebut. Setiap kali jam kuliah berakhir, Pipit selalu memikirkan pertanyaan itu. Pipit tertarik pada rekam jejak sejarah bangsa yang ia yakini dapat dilacak melalui budaya kulinernya.
Belakangan, pertanyaan-pertanyaan ini berhasil membawanya lulus studi sarjana di kampus. Ia menjawabnya melalui penelitian skripsi yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul “Kuliner Hindia Belanda 1901-1942”.
Hasil studi yang telah terbit itu kini telah berhasil membuka ruang perspektif sejarah baru bagi saya, barangkali juga bagi khalayak luas.
Buku ini membuka perspektif sejarah baru bagi saya dan mungkin juga bagi banyak orang. Buku ini berhasil menjawab pertanyaan saya di atas. Pipit memulai buku ini dengan menggambarkan jejak-jejak budaya Kuliner Hindia-Belanda dan mengaitkannya dengan budaya Kuliner Indonesia kini. Ia menarik garis persinggungan budaya luar yang diterima suatu daerah, baik itu budaya Portugal, Cina, Inggris, dan terutama Belanda. Pipit memberi istilah yang nyentrik, yaitu “Local Genius”, yang berarti bakat alamiah masyarakat Nusantara dalam bertahan hidup dari tekanan melalui proses mengamati, meniru, dan memodifikasinya menjadi budaya lokal.
Selain melalui perspektif akulturasi budaya, Pipit juga menghubungkan dampak politik etis Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 terhadap banyaknya menu makan, cara pengemasan, dan perangkat alat memasak yang kita temui hingga kini. Salah satunya adalah cara menyajikan hidangan di atas meja makan bersama (Riijstafel), yang menurut Pipit merupakan hasil adopsi dari cara makan bangsawan Belanda.
Pipit juga berhasil memberikan sumbangsih penelitiannya terhadap perempuan Indonesia. Ia menggambarkan, bahwa pada era Hindia-Belanda, sebagian besar dari bangsawan Eropa yang menikahi Wanita Pribumi – istilah ini dikenal sebagai Nyai – akan mendidik Wanita Pribumi mereka sebagai Wanita Tulen. Spesifiknya dalam bidang kuliner dan dunia masak-memasak di dapur. Ia juga berhasil memberikan gambaran bagaimana para Nyai itu dididik untuk menjadi istri yang baik dalam urusan pelayanan rumah tangga. Bahkam ia berhasil meneliti beberapa lembaga Pendidikan khusus wanita yang ia dapat dari majalah-majalah masyhur saat itu, seperti majalah Pedoeman Istri.
Dari sekian banyak kelebihan buku ini, tentu ia memilki kekurangan pula seperti kurang memberi keterangan spesifik menu-menu baru yang hadir akibat singgungan kedua budaya di atas. Padahal ia banyak menghimpun beberapa naskah percetakan pada era itu. Buku ini juga hanya memilki naskah-naskah historigrafi. Saya membayangkan Pipit bisa melacak narasumber yang lebih kuat dan menambahkannya dalam petilan wawancara pelaku sejarah. Barangkali buku ini akan memberikan gambaran lebih detail. Tapi di luar semua itu, buku ini tetap sangat layak untuk dibaca.
Ajmal Fajar Sidik
Traveller | Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang